Oleh: Abdi eL_Machete

“… Belajar dari sejarah raja-raja Hindu, Sultan Agung Mengembangkan tradisi sastra  dengan meminta para pujangga keratonnya menulis mitologi kekuasaan Mataram. Mulai dari Sultan Agung, muncullah kemudian karya sastra Jawa seperti  ‘Babad Tanah Jawa’, ‘Serat Centhini’, ‘Serat Putra Raja’, ‘Babad ing Kala’, dan lain-lain. Karya sastra ini berisi tentang mitologi raja-raja Mataram, lengkap dengan silsilahnya sampai ke raja-raja Majapahit serat para Nabi yang dalam ajaran Islam…

… Keraton Jawa, mulai Sultan Agung sampai yang tersisa saat ini, memperlakukan teks-teks mistik tersebut seperti layaknya benda-benda pusaka keraton. Tidak semua orang dapat menyentuh barang-barang tersebu., Kecuali pada acara-acara tertentu, benda pusaka itu dipertontonkan kepada khalayak ramai. Keraton menggunakan media wayang untuk menyosialisasikan ajaran teks-teks mistik keraton tersebut kepada masyarakat… [Zainul Munasichin: Berebut kiri, hal. 36 & 40]

 

Suatu hal yang menarik untuk diperbincangkan menjelang akhir tahun ini (yang konon kata sebagian orang sebagai tahun sial bagi bangsa indonesia), sebab perlahan tapi pasti seolah ke-budaya-an itu sedang dieksploitasi oleh kekuasaan yang terus menggerus negeri ini.

Sebagaimana kutipan diatas, sangat jelas bisa kita lihat bagaimana sebuah kekuasaan dapat membentuk sebuah budaya begitupun sebaliknya budaya yang telah dibentuk tersebut dapat menopang dan melanggengkan sebuah kekuasaan dalam sebuah komunitas maupun masyarakat kita. Seperti yang dilakukan oleh para raja-raja jawa terdahulu terhadap rakyatnya demi mendapatkan sebuah dukungan, maka dibuatlah sebuah design cerita, yang tentunya tujuan dari hal tersebut tak lain sebagai sebuah alat untuk melegitimasi kekuasaan yang dipegangnya dan terus berlanjut kepada para keturunannya.

Bukan hal yang mengherankan hal semacam itu terjadi, karena ada anggapan dari segelintir orang yang memegang kekuasaan bahwa kelanggengan sebuah kekuasaan tanpa ditopang oleh legitimasi sebuah budaya, maka kekuasaan tersebut akan mudah untuk diruntuhkan.

Dalam alam bawah sadar masyarakat kita sendiri pun hal ini masih terjadi sampai hari ini. Semisal, sebuah falsafah yang mengakar dalam budaya masyarakat jawa, kata “Noto Negoro” pun masih tetap melekat sebagai sebuah predikat untuk seorang yang bisa memegang sebuah tampuk kepemimpinan tertinggi di negara ini.

Bukan hanya itu saja, perkawinan lintas budaya pun (meskipun hanya sebagai intrik politik belaka) juga merupakan hal yang sangat menunjang kelanggengan sebuah kekuasaan. Bisa kita perhatikan baru-baru ini, orang nomor satu di negeri ini pun tetap berusaha untuk menggabungkan dua budaya (yang dalam sejarahnya sangat sulit untuk disatukan) yang berbeda. Bahkan kalau kita mau melihat sedikit ke belakang, para raja-raja terdahulu pun juga melakukan hal yang sama. Tujuannya jelas, sebagai legitimasi terhadap kelanggengan atas sebuah kekuasaan.

Muncul pertanyaan mendasar dalam hal ini, perlukah hal itu terjadi?. Apakah kekuasaan dapat mempengaruhi kebudaayan sebuah bangsa ataukah sebaliknya?.

Secara bertahap dalam bangsa kita, hal-hal semacam ini terkadang dianggap sebagai sebuah kelumrahan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun sadar ataupun tidak sadar, hal ini jelas sebuah persoalan pelik bagi kehidupan dalam bingkai kekuasaan. Penyebabnya tak lain adalah adanya upaya dari beberapa kalangan yang memiliki kekuasaan untuk menjadikan budaya sebagai medan dan alat pertarungan dalam merebut kekuasaan.

Tak usah disangsikan lagi, hal-hal semacam ini jelas sebuah alasan yang tepat untuk melanggengkan kekuasaaan. Sebab dalam kajian sosial-cultur dan politik, semua hal tersebut memiliki peranan penting dalam sebuah kekuasaan. Ketiganya pun memiliki peranan yang sama dan satu sama lain saling membutuhkan. Dimana pembentukan suatu tatanan sosial tetap membutuhkan perilaku politik yang selaras dan tentunya juga dengan ditunjang oleh budaya yang pas dan mengakar pula, dan begitu pula sebaliknya. Sehingga dalam hubungan ataupun interaksinya dalam kehidupan nyata dan keseharian manusia terdapat hubungan timbal balik dari ketiganya yang sangat sinergis.

Sebagaimana diketahui bersama, bahwa setiap kekusaan selalu saja membawa dampak (baik itu positif maupun negatif) terhadap budaya yang terdapat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi ketika keduanya telah sinergi, akan terjadi dominasi (pastinya) dalam kekuasaan yang sedang berlangsung tersebut. Yang jelas, hal semacam itu akan menibulkan beberapa efek. Diantaranya adalah perubahan nalar dan watak sebuah kelompok masyarakat yang dalam hal ini tentunya yang sedang dikuasai oleh kekuassaan tersebut. Dari perubahan watak dan nalar ini (baik positif dan negatif), kemudian akan memunculkan dampak turunannya yakni perubahan sikap dan mental sebuah kaum yang telah dikuasai tersebut. Jelas dalam hal ini, akhir dari rangkaian model perubahan tersebut, akan menimbulkan sebuah pergeseran sosial yang tentunya juga berimbas pada pergeseran kebudayaan suatu kaum yang telah dikuasai.

Hal diatas hanya segelintir saja dari hubungan antara kuasa dan budaya itu sendiri. Para pembaca mungkin masih mengingat bagaimana pemerintahan orde-baru membentuk sebuah budaya bagi bangsa ini, yang dampaknya masih kita rasakan hingga hari ini. (Sekedar mengingatkan) kita lihat bagaimana era orde-baru membentuk sebuah penafsiran tunggal terhadap pancasila, meracuni dan mengungkung pikiran pemuda bangsa dengan menyibukkannya dengan persoalan-persoalan yang tidak subtantif, baik itu dalam dunia kampus maupun di luar kampus (dalam hal ini penggabungan seluruh organ kemahasiswaan dalam payung KNPI agar mudah dalam mengontrolnya). Bahkan yang lebih parah lagi, melalui program transmigrasinya (meskipun dari satu sisi juga baik), orde-baru telah melakukan diaspora budaya jawa ke seluruh pelosok negeri. Hal tersebut tentu saja dapat membunuh bahkan memunahkan kekayaan budaya lain yang tersebar di seluruh negeri ini.

Kecenderungan dari perilaku yang demikian dapat menjadikan keanekaragaman budaya bangsa ini yang semestinya terjaga dan tetap lestari menjadi sebuah kemustahilan. Tak pelak, hal ini juga membuat orang-orang di bangsa ini sampai sekarang secara tak sadar masih melakukan hal yang sama seperti perilaku diatas. Bukannya kita berarti anti terhadap jawa, namun hal-hal semacam itu nantinya juga dapat menjadi pemicu disintegrasi terhadap bangsa dan negeri ini yang telah kita finalkan sejak lebih dari 800 tahun yang lalu sebagai Bhineka Tunggal Ika.

Diera reformasi (yang gagal) ini pun, kecenderungan para pemimpin negeri ini untuk melakukan hal yang sama demi tercapainya kelanggengan kekuasaan kereka masih saja terjadi. Meski dilakukan tidak lagi secara terang-terangan, namun fenomena seperti itu masih sering kita jumpai di berbagai media komunikasi dan informasi serta dalam kehidupan keseharian kita.

 

Budaya sebagai ajang pertarungan kuasa

Sering kita temui dalam beberapa karya yang bercorak cultural studies menyebutkan budaya komunikasi yang ada sekarang cenderung sebagai tindakan produksi makna atas kekuasaan itu sendiri, seperti yang biasa kita lihat dalam sistem-sistem pemaknaan yang dinegosiasikan oleh pemakainya dalam kebudayaan. Bahkan yang terparah, posisi seseorang dalam kebudayaan akan ditentukan oleh cultural literacy-nya, yaitu pengetahuan akan sistem-sistem makna dan kemampuannya untuk menegosiasikan sistem-sistem itu dalam berbagai konteks budaya. Pandangan seperti ini jelas sangat dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu. Ia mengatakan bahwa ‘tindakan’ (practice) atau apa yang secara aktual dilakukan seseorang, merupakan bentukan dari aturan-aturan dan konvensi kebudayaan.

Selain teori Bourdieu yang dikemukakan di atas, kita juga perlu melihat beberapa pandangan teori dari Bourdieu yakni: medan budaya (cultural field), habitus, dan modal budaya (cultural capital).

Bourdieu mendefinisikan medan budaya sebagai institusi, nilai, kategori, perjanjian, dan penamaan yang menyusun sebuah hierarki objektif, yang kemudian memproduksi dan memberi “wewenang” pada berbagai bentuk wacana dan aktivitas, serta konflik antarkelompok atau antarindividu yang muncul ketika mereka bertarung untuk menentukan apa yang dianggap sebagai modal dan bagaimana hal tersebut harus didistribusikan. Yang disebut modal oleh Bourdieu meliputi benda-benda material (yang bisa mempunyai nilai simbolis), prestise, status, otoritas, juga selera dan pola konsumsi.

Hal semacam ini, jika ditarik ke dalam analisa lingkar kekuasaan di negeri ini, jelas sangat mengena apa yang sering disebut sebagai institusi dan instrumen dalam kekuasaan itu sendiri, yang lambat laun dapat menjadi sebuah budaya di bangsa kita. Jelas dalam hal ini bahwa kekuasaan yang dimiliki seseorang dalam sebuah medan, ditentukan oleh posisinya dalam medan itu, yang pada gilirannya akan menentukan besarnya kepemilikan atas modal yang dikuasainya. Kekuasaan tersebutlah yang digunakan untuk menentukan hal-hal apa saja yang bisa disebut modal (capital) dan budaya (culture).

Modal selalu tergantung dan terikat pada medan tertentu, ia bersifat partikular. Dalam hal gaya hidup remaja Indonesia sekarang (yang telah membudaya) misalnya, pengenalan akan film dan musik barat, kemampuan berbahasa gaul, atau pun berdandan dengan gaya tertentu, bisa disebut sebagai modal. Bagaimanapun, kemampuan-kemampuan ini bukanlah modal, melainkan sebuah budaya, misalnya saja dalam hal pelayanan diplomatik.

Pemahaman seseorang akan modal dan budaya berlangsung secara tak sadar, karena menurut Bourdieu dengan cara begitulah ia akan berfungsi efektif. Seperangkat pengetahuan, aturan, hukum, dan kategori makna yang ditanamkan secara tak sadar ini oleh Bourdieu disebut habitus. Habitus bersifat abstrak dan hanya muncul berkaitan dengan putusan tindakan (ketika seseorang dihadapkan pada masalah, pilihan atau konteks). Dengan begitu habitus bisa juga diartikan sebagai sebuah perasaan terhadap sesuatu yang secara abstrak memasuki pikiran setiap manusia untuk melakukan suatu perilaku yang kemudian menjadi sebuah budaya dalam dirinya.

Dari hasil analisa seperti diataslah, kemudian melahirkan sebuah tesis, yang dalam tulisan ini disebut sebagai kekuatan budaya bentukan kekuasaan. Hal tersebut tidak terlepas dari beebrapa asumsi dan fakta yang biasa kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari dan disekitar kita, bahkan sangat mungkin k8ita alami sendiri. Untuk itu, sangat dibutukhan perhatian yang jeli terhadap setiap orang yang memegang kekuasaan.

Diluar dari intrik yang dimainkannya, setiap penguasa pasti memiliki kepentingan yang tentunya ingin memperpanjang masa kekuasaaanya, atau minimal dijadikan sebagai sebuah simbol dalam kekuasaan setelahnya. Hal-hal semacam ini jelas akan mempengaruhi sebuah bangsa dan negara secara menyeluruh. Bahkan dampak yang terparah dari hal tersebut yang akan timbul kemudian terhadap anak cucu kita adalah suatu hal yang tak bisa dibayangkan yakni ketidaktahuan tentang sejarah budaya bangsanya atau bahkan disintegrasi bangsa dimasa yang akan datang yang disebabkan tidak adanya pemahaman mendalam tentang budaya bangsa sendiri.