* Dimodifikasi dan disarikan dari tulisan Agus Sunyoto dalam Pitutur No. 1 / Juli 2001, hal. 33-45 dengan judul “Alam Bawah Sadar Masyarakat Irasional dan Paternalistik; ‘(Neo-) Masyumi dan PSI Tidak Mungkin Berkuasa.

  1. Individualisme dan kolektivisme di Indonesia

Kalau kita mengamati secara cermat keberadaan komunitas di Indonesia terutama dalam kaitan nilai-nilai yang bertolak dari paradigma, dogma/doktrin, dan mitos, maka kita akan menemukan bahwa system sosial yang membentuk masyarakat Indonesia adalah dari seorang individu menjadi sosok sosial. Kita pun kemudian menemukan bahwa system nilai tersebut membentuk manusia menjadi sebuah masyarakat yang kolektif bukan individu. Misalnya, ketika seorang anak jawa lahir pada hari sabtu pahing maka sudah ditanamkan sebuah doktrin bahwa orang yang lahir pada hari sabtu pahing itu wataknya keras. Jadi, sejak kecil dalam diri anak tersebut sudah ditanamkan bahwa wataknya itu keras. Padahal sebetulnya hal tersebut belum tentu terjadi. Sebab jikalau saja anak yang baru lahir pada hari sabtu pahing tersebut segers dibawa keluar negeri yang tidak mengenal system nilai semacam itu, maka kemungkinan dia tidak akan berwatak keras.

Konsep semacam ini mengindikasikan bahwa sifat seseorang tersebut senantiasa tergantung pada hari saat ia lahir. Hal semacam ini dalam masyarakat jawa bisa disebut sebagai konsep nagadina. Peletak dasar dari nilai-nilai ini, terutama mengenai hari baik dan hari buruk di dalamnya yang berkenaan dengan konsep startegi peperangan adalah tokoh bernama Sanjaya pada masa kerajaan mataram I. Dialah yang pertama kali meletakkan dasar system peperangan dengan konsep nagadina, yang mendoktrin sekian banyak orang tentang konsep hari baik dan hari buruk tersebut beserta konsep startegi dan tatik peperangan yang baik dan sesuai dengan hari dan tanggal tersebut, yang kemudian orang-orang tersebut disebar ke sejumlah wilayah untuk menyebarkan doktrin yang telah diterima tersebut. situasi semacam ini, ketika hampir semua orang telah menerima doktrin tersebut sebgai sebuah system nilai dalam masyarakat, kemudian menjadikan masyarakat nusantara itu terbentuk menjadi masyarakat yang kolektif bukan individu, atau dengan kata lain dasar dari nilai cultural bangsa nusantara adalah kolektivisme.

Ciri semacam ini dapat dilihat dalam beberapa kasus dalam masyarakat kita, khususnya di wilayah pedesaan yang umumnya tidak menginginkan ada warga yang merupakan bagian dari masyarakat dalam desa tersebut menonjilkan dirinya dan bersifat ekslusif. Misalnya ada seseorang di desa tersebut yang hidup lebih kaya dibanding kelompok atau keluarga yang lain. Sebetulnya, secara sosiologis orang yang kaya itu wajar saja. Apalagi jika kekayaannya tersebut didapat dengan cara yang halal dan wajar. Namun, masyarakat kita tidak dapat menerima konsep tersebut, karena didesa tersebut ada sebuah anggapan bahwa jika ada orang yang sangat kaya untuk ukuran desa tersebut, maka akan muncul bisik-bisik dari tetangga dan masyarakat sekitar, bahwa ia memelihara tuyul, yang akhirnya menyebabkan ia dibenci oleh seluruh warga dalam desa tersebut.

Hal tersebut dikarenakan adanya alasan untuk membenci , bukan karena alasan ia sangat kaya dalam ukuran kampung tersebut, namun karena ia memelihara setan. Hal ini pun sudah menjadi kejadian umum dalam masyarakat kita yang tinggal di pedesaan. Oleh karena itulah, di desa itu selalu ada semacam arisan, pengajian atau tahlilan bersama untuk menjaga kolektifitas mereka sebagai sebuah masyarakat. Mereka pun dengan demikian seolah-olah tidak bisa menikmati bahwa kehidupan itu individual. Mengapa? Karena nilai yang ditanamkan dalam diri dan alam bawah sadar mereka sejak kecil adalah kolektivisme.

  1. Budaya Pedalaman dan Budaya Pesisir

System budaya di masyarakat kita terbagi atas dua kelompok, yaitu masyarakat yang tinggal di pedalaman dan masyarakat yang tinggal di pesisir/pantai. Contoh kasusnya dpaat dilihat misalnya di Aceh. Disana ada dua buah gunung, yaitu gunung seulawah. Pertama, Seulawah Agam (laki-laki) mewakili masyarakat pedalaman. Cirri masyarakat ini adalah paternalistic atau kebapakan. Simbolnya adalh gunung yang bertingkat-tingkat, seperti strata yang terdapat dalam masyarakatnya. Kedua, Seulawah Inong (perempuan) yang mewakili masyarakat pantai yang mempunyai ciri matriarkhi asas keibuan dan egaliter. Mungkin karena pantai itu letaknya datar, sehingga secara alamiah ada pengaruhnya dalam perilaku dan system sosial. Karena hal inilah juga mungkin, di daerah-daerah pesisir Aceh ada tokoh-tokoh seperti Laksamana Keumalahayati dan Cut Nya Dien, yang keduanya adalah perempuan, sednagkan di pedalaman tidak terdapat tokoh perempuan, sebab yang harus menjadi tokoh adalah seorang laki-laki.

Hal yang sama juga terjadi di Jawa. Komunitas yang tinggal di pantai itu kemudian membentuk sebuah komunitas masyarakat yang dinamakan Jenggala, sementara yang tinggal di pedalaman juga membentuk sebuah komunitas masyarakat yang dinamakan Panjalu. Panjalu  berasal dari kata “jalu” yang berarti laki-laki, sehingga kemudian dapat dikatakan paternalistic lawan matriarkhi. Symbol-simbolnya pun memiliki perbedaan, kalau di pantai ada symbol-simbol naga, kura-kura, ikan, dst., sedangkan kalau di pedalaman terdapat symbol-simbol singa, gajah, harimau,dst.

Di daerah Jawa Barat juga ada tempat bernama Panjalu di pedalaman. Begitupun juga di Sumatera Barat, juga ada orang pedalaman, yaitu Bukit Tinggi, sedang ada juga orang pantai yaitu Pariaman. Sama halnya di Sulawesi Selatan, ada orang Makassar yang mewakili pantai dan orang Bugis yang mewakili orang pedalaman. Semua ini merupakan dua hal yang hampir sama, yakni dua kelompok masyarakat yang dapat dipilah ke dalam dua ketegori besar tadi, yakni masyarakat yang terdapat di pedalaman yang berkarakter paternalistic atau patriarkhi, dan masyarakat yang terdapat di pesisir yang berkarakter matriarkhi dan egaliter.

  1. Konsep Kekuasaan Asli Nusantara

Konsep kekuasaan yang dikembangkan di berbagai tempat di Nusantara dulunya lebih bersifat Konfederasi, dimana terdapat penguasa-penguasa daerah. Penguasa daerah ini, kalau di Jawa zaman dulu ada yanf dinamakan raka, misalnya Raka-I Mataram (arti sebenarnya raka itu adalah kakak, jadi Mataram ini sebagai nama atau keerangan tempat). Jadi, Raka-I Mataram berarti penguasa di daerah Mataram. Kemudian ada yang namanya Raka-I Garung berarti penguasa di daerah garung dekat Wonosobo. Raka-i Panunggalan, penguasa di Panunggalan dekat Purwodadi, atau Raka-I Pikatan di daerah Blitar. Salah satu dari kekuatan Raka ini kemudian mampu menggalang semua kekuatan raka tersebut yang kemudian mengangkatdia menjadi seorang pemimpin. Itulah yang dinamakan Ratu. Jadi, ratu merupakan pemimpin para raka.

Kalau di daerah Sulawesi, terjadi semacam metatesis, kata-kata raka menjadi kara. Raka-I menjadi kara-eng (huruf ‘i’ berubah menjadi ‘eng’ karena dalam bahasa Bugis-Makassar sangat sulit menyebut huruf ‘i’ atau huruf vocal lainnya ketika posisinya berada di akhir sebuah kata). Kara-eng Galesong artinya penguasa di daerah Galesong. Kara-eng Bungkul Parangi, kara-eng Suko atau penguasa di daerah Suko. Kemudian para karaeng ini juga membentuk sebuah konfederasi dan berhasil disatukan oleh seorang Ratu. Begitu pula di Kalimantan, ada ketua-ketua suku yang juga disatukan oleh penguasa para ketua suku, yang kemudian juga membentuk sebuah konfederasi yang berdasarkan atas kekuasaan yang setara. Di Maluku juga sama, ada-raja-raja yang berarti penguasa di suatu daerah.

Jadi, pola pikir kekuasaan asli Nusantara di zaman dahulu itu merupakan gabungan dari beberapa wilayah yang kemudian membentuk sebuah Negara atau wilayah konfederasi, dimana setiap penguasa daerah tetap punya hak atas daerah/wilayahnya dan para penguasa daerah tersebut dipimpin oleh seorang ratu yang menjadi pemimpin sekaligus penengah diantara para penguasa daerah yang berada di bawah naungannya. Hal-hal semacam ini juga masih perlu dilakukan banyak penelitian tentangnya, agar tidak terjadi semacam sebuah bentuk generalisasi dalam kesimpulan akhir tentang hal tersebut.