Secara sederhana, teori wacana mencoba menjelaskan terjadinya sebuah peristiwa seperti terbentuknya sebuah kalimat atau pernyataan, sehingga dari sinilah muncul istilah analisis wacana untuk menganalisis bagaimana proses suatu peristiwa menjadi sebuah wacana. Pendekatan yang paling umum digunakan adalah pendekatan analisis kebahasaan/linguistik dan analisis simbol/tanda

Suatu kalimat bisa terungkap maknanya, bukan hanya karena ada orang yang membentuknya dengan kepentingan subjektif atau motivasi tertentu, akan tetapi suatu kalimat dapat terungkap maknanya disebabkan oleh struktur kebahasaan atau “aturan” gramatika yang terdapat dalam kalimat tersebut. Hal ini pada dasarnya menjelaskan bahwa suatu kalimat, terlepas dari apapun motivasi/kepentingan dari si penutur/si pembuat kalimat, tidak dapat dimanipulasi secara utuh berdasarkan kehendak yang bersangkutan. Penyebab utamanya adalah aturan-aturan kebahasaan dalam suatu kalimat tidak dibentuk secara individual oleh si penutur atau yang berkepentingan tadi, meskipun yang bersangkutan adalah orang yang sangat pintar atau berkompeten. Bahasa dalam suatu kalimat itu pada dasarnya akan selalu menjadi milik bersama di ruang publik

Analisis wacana pada dasarnya tidak hanya berhenti atau sebatas pada kajian tentang maksud atau motivasi si penutur ataupun struktur kebahasaan dalam suatu kalimat dalam sebuah wacana, karena kajian yang demikian hanya akan terjebak dalam perdebatan soal pemisahan antara isi dan bentuk suatu kalimat ataupun wacana. Jika merujuk pada pemahaman teori wacana lebih lanjut, motivasi atau kepentingan seseorang dalam memproduksi kalimat ataupun wacana, juga didorong atau ditentukan oleh bahasa yang dikenalnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat kesatuan yang bersifat organik (bukan hanya pemisahan yang dikotomis) antara isi dan bentuk dalam suatu kalimat yang diproduksi

Jika diperhatikan lebih lanjut, pemaparan di atas sangatlah condong pada perspektif strukturalisme maupun fatalism dalam tradisi filsafat. Hal tersebut juga seolah tidak memberikan tempat bagi otonomi kesadaran yang dimiliki oleh manusia maupun kemandirian kreatifitas manusia yang bebas dari persoalan kebahasaan dalam mengolah kehidupannya.

Sebenarnya, perspektif-perspektif dalam teori wacana tidak sesempit itu. Ada beberapa kemungkinan bagi manusia yang ingin bergulat dalam jejaring bahasa, sebagaimana yang diungkapkan oleh Heryanto (2000: 344) tentang sumber harapan manusia dalam memicu terjadinya gejolak perlawanan dan perubahan sosial. Pertama, manusia berkenalan dengan lebih dari satu bahasa, yang dengan demikian mengantarkan manusia berkenalan dengan lebih dari satu tata-dunia. Ini memungkinkan bagi manusia untuk memicu terjadinya serangkaian bentrokan antar tata-dunia ataupun antar kebudayaan dan peradaban. Kedua, setiap bahasa mengandung berbagai “celah kebocoran” dan kontradiksi dalam dirinya sendiri. Tanpa pertemuan dengan bahasa lain pun, setiap bahasa tidak pernah sepenuhnya stabil ataupun statis.

Jika ditarik ke dalam tradisi filsafat secara luas, teori wacana pada dasarnya sudah sangat tua. Aristoteles menurut Kleden (1997: 34) pernah membahas persoalan wacana secara lugas dan terperinci dalam karyanya De Interpretatione. Teori wacana pun dalam perkembangan filsafat kontemporer menjadi suatu diskursus yang menarik dan lebih aktual, utamanya dengan kemunculan perspektif strukturalisme dalam filsafat yang berpandangan bahwa arti bahasa tidak bergantung pada maksud pembicara atau pendengar ataupun referensinya terhadap realitas tertentu, akan tetapi arti bahasa bergantung pada struktur bahasa itu sendiri. Yang dimaksud dengan “struktur” di sini adalah jaringan hubungan intern elemen-elemen terkecil dalam bahasa yang membentuk suatu kesatuan otonom yang tertutup.