Oleh: Muh. Abdi Goncing

Beberapa bulan yang lalu sebelum wabah corona atau covid-19 muncul, seorang teman sejawat, dengan setengah mengeluh dan sedikit curhat, bertanya kepada kami semua yang sedang berada dalam suatu ruangan dengan bahasa Indonesia dialek khas Makassar: “kenapa ka’ saya ini kodong, akhir-akhir ini sering ka’ sakit-sakitan dan banyak sekali masalah yang kuhadapi? Tidak adaji yang kasi kenna’-kenna’ ka’ ini kah???”. Penulis, yang kebetulan lagi sedikit serius memperhatikan layar laptopnya, tiba-tiba nyeletuk (co’do kalau dalam bahasa Makassar): “anu ji itu kayaknya, mauji ki’ naik kelas…”. Teman sejawat penulis itupun tetiba mengejar pernyataan penulis dengan penuh keheranan dan tanda tanya, “maksudnya naik kelas???”. Penulis yang tidak siap dengan pertanyaan susulan tersebut langsung menjawab sekenanya: “biasanya kalo begitu itu orang, tandanya lagi na uji ki’ Tuhan. Nah, biasanya kalo orang lagi ujian begitu, tandanya maui naik kelas itu atau lagi ada penilaian. Kayak anak sekolahan lah begitu…”.

Mungkin karena tidak siap dengan jawaban sendiri atau terdapat hal lain dari kalimat terakhir dari penulis tersebut, penulis sendiri kemudian merenunginya setelah beberapa hari kalimat tersebut penulis utarakan kepada orang lain. Perenungan atas kalimat itu terjadi karena seolah kalimat penulis tersebut kembali kepada penulis sendiri, yang memang pada hari-hari sebelum dan setelahnya, juga mengalami “ujian” yang hampir sama dengan teman sejawat tersebut.

Dalam perenungan tersebut, penulis menggarisbawahi satu kalimat penting yang sering disampaikan oleh para ahli agama dalam ajaran Islam, bahwa suatu penyakit diutus ke suatu kaum atau kepada seseorang bertujuan untuk menguji kaum atau orang tersebut seberapa besarkah tingkat keimanan, keikhlasan, kesabaran dan ikhtiarnya sebagai manusia untuk keluar dari ujian tersebut? Tentu hal ini bukan perkara mudah untuk dijawab. Namun, satu hal yang penting dari pernyataan dalam kalimat tersebut, bahwa ujian tersebut sebagai suatu bentuk evaluasi atau penilaian atas nilai atau derajat kita sebagai manusia di hadapan Tuhan, sebagaimana yang pernah di alami oleh nabi Ayyub AS dan para nabi lainnya dalam kisah-kisahnya dalam ajaran Islam.

Pernyataan-pernyataan di atas, jika dikaitkan dengan wabah yang sekarang sedang melanda dunia, termasuk negeri tercinta kita ini, yakni Covid-19 atau populer dengan sebutan virus corona,  mungkin ada benarnya. Tuhan mungkin sedang mengajak kita “bercanda” dengan mengirim wabah tersebut ke tengah-tengah peradaban manusia, sebagaimana yang Dia juga lakukan pada orang-orang terdahulu. Tujuan Tuhan, mungkin, untuk mengukur kemanusiaan kita: masihkah kita sebagai manusia yang diciptakan-Nya dengan tujuan sebagai Khalifah (bukan khilafah yaa… hehehe…) di muka bumi?

Akhir dari “ujian” tersebut tentu sudah bisa ditebak, jika kita mengikuti alur cerita dari tulisan ini, yakni dapatkah kita lulus dari “ujian” ini sebagai seorang manusia yang utuh, sehingga kita pun dapat “naik kelas” dari “ujian” atau “candaan” Tuhan tersebut? Ataukah kita justru akan tenggelam dan “tinggal kelas” dan siap-siap mengulang “ujian” tersebut dalam kehidupan kita sebagai seorang manusia? Atau mungkin lebih parah dari kedua hal tersebut, yakni kita harus rela dan pasrah “turun kelas” dari kemanusiaan kita, atau dengan kata lain membiarkan Tuhan mencabut kemanusiaan tersebut dari diri kita sembari menunggu “ujian” berikutnya (jika masih diberi kesempatan)?

Harapan kita semua tentu adalah menjadi kategori yang pertama, yakni lulus “ujian” dan kemudian “naik kelas”. Olehnya itu, mari kita jadikan wabah covid-19 atau virus corona ini sebagai batu loncatan kita semua untuk mempertegas kemanusiaan kita di hadapan Tuhan. Sebab hanya kitalah sebagai sebenar-benarnya manusia yang dapat menjawabnya serta menentukan apakah kita seorang manusia atau bukan manusia yang diciptakan oleh Tuhan.

Penulis kemudian berpikir setengah berhayal, sambil berimajinasi dan sedikit berkelakar, mungkin ketika Tuhan juga membaca tulisan ini, Dia mungkin akan berkata: “anda ini ingin lulus “ujian” dan “naik kelas” atau bagaimana??? Kok soal ujiannya anda bocorkan???” He He He He He . . .

Maafkan dan ampunilah hamba-Mu yang papah ini wahai Tuhanku…

Tetapkanlah diri kami sebagai sebenar-benarnya manusia ciptaan-Mu…

Janganlah Engkau cabut kemanusiaan ini dari diri kami…

Hanyalah kepada-Mu kami memohon dan berserah diri…

Sebab hanya Engkaulah yang Maha Berkehendak atas segala sesuatunya…

Termasuk kepada diri dan kemanusiaan kami…

Hasbunallah wani’mal wakiil ni’mal mawla wani’mannashir walaa hawla walaa kuwwata illaa billahil’aliyil adzim…

۞ إِنَّا نَحۡنُ نُحۡيِ ٱلۡمَوۡتَىٰ وَنَكۡتُبُ مَا قَدَّمُواْ وَءَاثَٰرَهُمۡۚ وَكُلَّ شَيۡءٍ أَحۡصَيۡنَٰهُ فِيٓ إِمَامٖ مُّبِينٖ ۞

۞ ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ۞

Wallahu a’lam…

Wallahul Muaffieq Ilaa Aqwamith Tharieq…

Makassar, 6 April 2020