Oleh: Umar, S.S., M.A.

Indonesia semakin digerogoti oleh dunia luar, persoalan yang ada di bangsa ini tidak pernah lepas dari dunia internasional. Bangsa ini selalu dijadikan arena dan bias oleh berbagai permasalahan dunia internasional. Begitu kompleksnya permasalahan yang ada, sehingga anak bangsa tidak mampu mengikuti dan tidak mengerti setiap gerak persoalan bangsanya. Masyarakat pun akhirnya mudah putus asa dan selalu menganggap keadaan yang terjadi sekarang merupakan nasib yang harus diterima tanpa pernah mempersoalkannya.

Pada lini kebudayaan, bangsa ini kebablasan menerima arus kebudayaan luar. Masyarakat dalam kehidupannya kemudian kehilangan jati diri karena ketidakmampuan menjaring arus yang masuk dalam dirinya. Demokrasi yang selalu didengungkan dianggap satu-satunya solusi yang mampu menyelesaikan setiap persoalan yang ada. Ketika demokrasi dijadikan pijakan justru semakin banyak persoalan yang muncul. Gesekan–gesekan diantara masyarakat semakin tidak dapat dihindarkan. Penyebabnya satu, yakni praktik demokrasi yang mengarah pada liberalisme demokrasi atau demokrasi yang kebablasan.

Demokrasi yang kebablasan ini kemudian dijadikan sebuah keyakinan oleh bangsa ini, sehingga cara baca kita terhadap masyarakat tidak pernah tuntas. Ketika kita mengambil sebuah identitas dalam masyarakat untuk dijadikan identitas bersama, selalu saja persoalan baru muncul karena kekecewaan kelompok lain. Hal ini muncul karena kita terjebak dalam skenario luar. Sebuah strategi yang bernama demokrasi kemudian dipahami sebagai sebuah keyakinan mutlak.

Di masyarakat kemudian muncul berbagai corak identitas yang butuh pengakuan setelah dikunci puluhan tahun. Negara sebagai institusi tertinggi dalam masyarakat mencoba menerjemahkan lewat otonomi daerah, sehingga beberapa daerah diberikan otonomi khusus dan daerah diberi ruang untuk memekarkan daerahnya, sebagai pengakuan terhadap identitas-identias masyarakat. Namun yang terjadi kemudian hampir di setiap daerah terjadi pemekaran yang mengarah kepada provinsi etnik atau kabupaten etnik. Kalau ini dibiarkan terus terjadi, Indonesia pecah akan segerah terjadi. Hal ini disebabkan perangkat pengetahuan dan metode yang kita gunakan selama ini untuk membaca masyarakat belum sempurna, sehingga kita harus segera melampaui pengetahuan itu.

Cara Baca Sejarah

Sejarah masyarakat merupakan kemutlakan untuk kita pahami. Pertanyaannya kemudian, bagaimana cara baca sejarah kita? Banyak teks sejarah sudah tersedia baik itu ditulis akademisi maupun yang ditulis oleh pemerhati sejarah, maupun kelompok-kelompok lain. Bagaimana sejarah itu ditulis? Pada perkembangan penulisan sejarah, terutama penulisan sejarah bangsa ini, dikenal beberapa kategori. Sebelum kedatangan Eropa ke Nusantara, di beberapa wilayah sudah mempunyai catatan-catatan tertulis mengenai kehidupan kerajaan dan daerahnya. Di Sulawesi Selatan misalnya, dikenal lontara sebagai aksara lokal. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, model penulisan sejarah merupakan Belanda sentris karena sejarah ditulis berdasarkan perspektif dan kepentingan orang Belanda, sehingga hasilnya kemudian melegitimasi kekuasaan Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan, muncul tulisan-tulisan sejarah yang cenderung menampilkan heroisme pemimpin-pemimpin nasional. Sejarah lebih banyak menampilkan perlawanan bersenjata dan bagaimana sejarah ditulis untuk mendukung pemerintahan yang baru terbentuk, sehingga para sejarawan melabelinya dengan penulisan sejarah Indonesia sentris. Sampai pada pemerintahan orde baru, sejarah ditulis untuk melegitimasi penguasa, ditulislah sejarah Indonesia jilid satu sampai enam yang sangat pro dengan kekuasaan. Bagaimana objektifitas masyarakat ilmiah mampu dibungkam untuk kepentingan penguasa.

Sejarawan kemudian terjebak dalam penulisan sejarah perang, peristiwa-peristiwa besar dengan perspektif bahwa perlawanan terjadi karena kharisma pemimpinnya. Perlawanan yang terjadi semata-mata hanya digerakkan oleh orang-orang besar, dengan menafikan masyarakat kecil sebagai pendukungnya, yang lazim disebut sejarah orang besar. Sejarah kemudian muncul dengan wajah baru sebagai titik balik dari penulisan sejarah sebelumnya. Diangkatlah kemudian perlawanan orang-orang kecil sebagai bagian dari sejarah perjalanan bangsa ini. Muncullah kemudian sejarah pemberontakan petani Banten yang ditulis oleh Kuntowijoyo. Peranan kelompok-kelompok masyarakat pinggiran seperti buruh, petani, pedagang terhadap perjuangan bangsa ini semakin banyak menghiasi penulisan sejarah kita.

Objektivitas dalam penulisan sejarah semakin dituntut, keterlibatan emosional sejarawan terhadap karyannya semakin harus dilepas. Penerapan metode sejarah adalah sebuah alternatif untuk menulis sejarah yang objektif. Karena objektif berarti ilmiah, maka perangkat pengetahuan yang digunakan adalah positivisme. Polarisasi pengetahuan positivisme dalam studi sejarah membawa para penulis sejarah kepada bentuk prosedural, artinya sejarah yang objektif adalah penulisan sejarah yang memenuhi syarat-syarat penelitian dalam metode sejarah.

Sejarawan kemudian terjebak pada prosedural ilmiah, sehingga dalam penulisan sejarah bagi bangsa ini tidak pernah tuntas, selalu saja ada kelompok atau komunitas yang merasa tidak terwadahi. Adanya ranah kehidupan dalam setiap komunitas yang tidak mampu diungkap dalam metode ilmiah karena tidak mampu dijangkau dalam rasionalitas, sehingga sebagian kehidupan komunitas tidak tercatat dalam sejarah bangsa ini. Bangsa ini pun gagal menuliskan sejarahnya karena terjebak pada perangkat pengetahuan yang dipakai.

Tulisan-tulisan sejarah yang dihasilkan selama orde baru dianggap tidak objektif, sehingga muncul kemudian istilah pelurusan sejarah di kalangan sejarawan. Ada yang beranggapan bahwa sejarah, terutama sejarah nasional, harus ditulis ulang dan mengedepankan objektivitas dalam penulisannya. Bahkan muncul sebuah keinginan untuk mencari historiografi alternative, yang secara teori dan metodologi mampu menerjemahkan setiap hal dalam kehidupan komunitas yang ada di bangsa ini. Setiap komunitas pun kemudian mempunyai peran dalam proses terbentuknya bangsa ini dan hal itu perlu pengakuan. Salah satu bentuk pengakuan itu dengan menampilkannya dalam panggung sejarah.

Ketidakmampuan metode sejarah menghadirkan setiap peran komunitas terhadap bangsa ini, membuat pembacaan kita terhadap bangsa ini selalu ahistoris. Sejarah dipahami secara sepotong-sepotong. Peristiwa yang hadir hari ini dipahami bukan bagian dari masa lalu, tetapi dipahami sebagai hal yang berdiri sendiri dan tidak dipengaruhi oleh masa sebelumnya, sehingga yang terjadi kemudian adalah sejarah hanya dihadirkan untuk melegitimasi kepentingan hari ini. Sejarah ditulis berdasarkan kepentingan orang yang menulisnya atau pemesannya. Komunitas masyarakat yang tidak mempunyai kepentingan, maka sejarah masyarakatnya tidak ditulis.

Setelah metode sejarah tidak mampu menjelaskan gerak kehidupan setiap komunitas yang ada dibangsa ini, ditambah lagi sejarah kadang ditulis berdasarkan kepentingan pemesannya, ketika tidak ada yang memesan maka sejarahnya tidak pernah dan tidak perlu ditulis. Sudah banyak sejarah yang tidak ditulis, yang juga diperparah oleh perangkat pengetahuan yang kita miliki, sehingga kita tidak mampu menjelaskan secara komprehensif sejarah setiap masyarakat bangsa ini.

Lokalitas Mencari Ruang

Kelompok mayoritas selalu mempunyai kecenderungan untuk menguasai kelompok minoritas. Hal itu pula yang terjadi di bangsa ini. Pada masa orde baru, dapat kita lihat bagaimana kelompok masyarakat yang minoritas dikunci. Negara kemudian memaksakan hanya melegitimasi lima agama, artinya kepercayaan-kepercayaan masyarakat lokal dipaksa untuk memilih diantara lima agama tersebut. Sedangkan komunitas lokal mempunyai kepercayaan sendiri terhadap penciptanya, misalnya sebagian masyarakat Toraja masih menganut Aluk Todolo yang berbeda dengan Kristen dan komunitas Tolotang yang mempunyai aliran kepercayaan sendiri yang berbeda dengan Hindu. Negara sudah mengunci, kemudian diperparah lagi kelompok mayoritas yang tidak pernah memberi ruang kepada kelompok minoritas untuk dibicarakan, apalagi untuk membicarakan dirinya sendiri. Komunitas-komunitas lokal dianggap tidak beragama, dianggap musyrik dan pengamal tahayyul, sehingga tidak pernah memandang atau mengenal setiap persoalan yang ada di luarnya.

Setelah reformasi, komunitas-komunitas lokal kemudian diberi ruang untuk berbicara tentang dirinya. Kelompok-kelompok tertentu juga terus melakukan kajian tentang komunitas-komunitas lokal yang selama ini tidak pernah dibicarakan, misalnya seperti suku Kajang yang ada di Bulukumba, Tolotang yang ada di Sidrap. Sebagian kalangan menganggap komunitas lokal adalah sesuatu yang eksotis, seperti halnya orang barat melihat timur yang eksotis dan harus dijaga keasliannya. Namun yang berbeda dengan masa kolonial, orang barat melihat timur sebagai masyarakat yang eksotis dan tidak beradab, sehingga harus diperadabkan. Zaman sekarang, berbagai kalangan, baik itu akademisi, budayawan, maupun pemerintah, sibuk menghadirkan kembali komunitas lokal yang seolah hilang dan tenggelam tersebut.

Sebagai komunitas lokal, tentunya mereka mempunyai kebudayaan tersendiri yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Budaya inilah yang kemudian lebih ditonjolkan oleh pemerintah maupun kelompok yang mengaku pemerhati budaya untuk dihadirkan. Budaya itu dihadirkan bukanlah untuk berbicara tentang dirinya atau mengangkat isu-isu perlawanannya, tetapi budaya dihadirkan sebagai komuditas yang siap diperjual-belikan untuk para pecinta keindahan, sehingga terjadilah komersialisasi budaya atas komunitas lokal.

Hubungan budaya dengan politik tidak pernah terpisah, yang berubah adalah bentuk hubungannya. Bentuk pertama, politisasi budaya. Hal ini jelas terlihat pada masa orde lama, bagaimana ideologisasi di berbagai lini terjadi, termasuk dalam budaya dan seni. Rakyat pada waktu itu dijebak dalam romantisme: atas nama rakyat dan politik sebagai panglima. Bentuk kedua, adanya usaha untuk sentralisasi budaya. Pada masa orde baru, Jawa dijadikan budaya yang harus diketahui dan harus diterima oleh masyarakat lain. Terjadilah apa yang disebut dengan proses Jawanisasi terhadap budaya-budaya di luar Jawa. Budaya nasional kemudian diusung dari budaya-budaya lokal, tetapi yang terjadi kemudian adalah menjadikan budaya Jawa sebagai identitas nasional. Bentuk ketiga, adalah vulgarisasi budaya. Budaya kemudian dijadikan sebagai komuditas, di mana, menurut Kuntowijoyo, simbol-simbol budaya dijadikan alat propaganda politik.

Pemerintah seolah-olah memberi ruang bagi komunitas-komunitas lokal lewat otonomi daerah, kemudian daerah menerjemahkannya dengan berbagai pemekaran daerah, mulai dari pemekaran provinsi sampai pada pemekaran tingkatan desa. Lokalitas kemudian dijadikan isu utama dalam berbagai bentuk usaha pemekaran daerah atau wilayah. Perbedaan bahasa dan suku dengan daerah lain dijadikan alasan untuk memisahkan diri. Masyarakat pun terjebak, dan bahkan sengaja dijebak, oleh beberapa kelompok yang ingin menjadi elit baru di daerahnya dengan isu lokalitas tersebut. Propaganda kemudian dibangun di internal masyarakat dengan isu agar mempunyai identitas sendiri.

Setelah komunitas-komunitas lokal menemukan ruangnya dipanggung masyarakat terbuka dan dapat bersaing dengan kelompok masyarakat lainnya, digiringlah kemudian ke arena politik praktis oleh beberapa elit politik lokal. Perbedaan-perbedaaan dengan kelompok masyarakat lainnya merupakan isu yang sengaja dijaga agar tetap menjadi perbincangan. Otonomi daerah kemudian dijadikan kendaraan oleh beberapa elit lokal untuk mengantar komunitasnya membentuk kabupaten sendiri maupun provinsi sendiri. Lokalitas itulah yang selama ini dimanfaatkan betul oleh beberapa orang untuk menjadi elit lokal baru.             

Nation Vs Etnik

Sebelum tahun 1908 atau pada masa pemerintahan VOC sampai dengan Hindia Belanda, sebagian besar perlawanan bangsa ini lebih bersifat kedaerahan. Perjuangan yang dilakukan lebih pada bagaimana membebaskan daerahnya atau kerajaannya dari kekuasan kerajaan lain maupun dari Belanda. Bentuk konfliknya pun begitu kompleks, bahkan terkadang terjadi perang segitiga. Misalnya pada satu sisi harus berperang melawan kerajaan lain dari daerah lain, dan di sisi lain harus berperang melawan Belanda. Hal ini misalnya dapat kita lihat pada konflik Gowa, Bone dan VOC (Belanda). Gowa pada satu sisi berperang melawan Bone, di sisi lain juga harus melawan VOC. Begitupun sebaliknya, Bone yang berusaha melepaskan diri dari Gowa kemudian berkoalisi dengan VOC, sehingga muncul berbagai pandangan mengenai konflik ini. Bahkan ada yang menganggap bahwa Bone pada dasarnya hanya dimanfaatkan oleh Belanda untuk menaklukkan Gowa. Begitupun sebaliknya, ada anggapan bahwa Bone pada dasarnya hanya memanfaatkan Belanda untuk melepaskan diri dari Gowa. Namun yang terjadi kemudian, VOC (Belanda) pada akhirnya tetap menguasai keduanya.

Setelah 1908, pola pergerakan kemudian berubah dengan mengutamakan isu kebangkitan nation-state (negara-bangsa). Hal ini juga tidak terlepas dari konstalasi politik pada tingkat global, setelah Ernest Renan melakukan kajian politiknya tentang konsep nasionalisme. Belanda kemudian menerjemahkannya di Indonesia melalui politik etis, sebagai akibat dari semakin ketatnya persaingan antara negara-negara Eropa di Asia Tenggara. Melalui ‘anak-anak haram’ politik etis, semisal Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan kawan-kawan, konsep nation-state berusaha dirumuskan melalui berbagai organisasi. Semangat Nasionalisme kemudian menjadi isu sentral dalam setiap gerak perjuangan para “anak haram” untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Bermodalkan semangat nasionalisme yang dibangun dari kesamaan dijajah oleh Belanda dan berhasilnya para “anak haram” tersebut mencuri momen terhadap pertarungan dunia internasional, kemerdekaan Indonesia pun diproklamirkan pada 17 agustus 1945. Di sini, etnisitas ternyata mampu melunak di bawah semangat nasionalisme.

Setelah Konfrensi Meja Bundar pada tahun 1949, kemudian muncul berbagai perlawanan yang bersifat kedaerahan sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat, seperti gerakan PRRI permesta, DI/TII, Republik Maluku Selatan (RMS) serta pemberontakan-pemberontakan lainnya. Hal ini kemudian dapat diredam dengan operasi militer. Sadar atau tidak, perlawanan-perlawanan tersebut merupakan bentuk perlawanan etnik terhadap pusat.

Gejolak-gejolak yang bersifat kedaerahan pada masa Orde Baru, juga diredam dengan semangat developmentalisme yang menjadikan operasi militer sebagai alat terornya. GAM di Aceh dan OPM di Papua pun diredam dengan operasi militer. Developmentalisme kemudian menjadi ideologi, berbagai kebijakan kemudian dikeluarkan untuk memuluskan para pemodal masuk ke Indonesia.

Pembangunan yang diusung oleh Orde Baru ternyata hanya berpusat di Jawa, sehingga kesenjangan antara Jawa dengan luar Jawa terlalu besar. Kekayaan hanya terakumulasi di keluarga Soeharto dan kroninya. Kapitalis nasional pun bermain dalam hal investasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan luar, sehingga para pemodal internasional tidak dapat secara langsung ke daerah untuk menanamkan modalnya. Dalam hal ini, daerah mampu ditundukkan oleh pemerintah pusat, sehingga persatuan nasional masih terlihat, walaupun hanya persatuan semu karena dilandasi oleh semangat penyeragaman dan penguasaan atas daerah-daerah tersebut di bawah panji-panji pembangunanisme (developmentalisme).

Tarik ulur antara daerah dengan pusat tidak pernah berhenti, akan tetapi Reformasi dan otonomi daerah merupakan titik lega dan titik kompromi bagi daerah karena daerah diberi keleluasaan untuk mengatur daerahnya masing-masing. Aceh dan Papua diberi otonomi khusus, hak-hak lokal mulai diperhatikan, namun di sisi lain pusat setengah hati melepas daerah. Konsep otonomi daerah yang dicanangkan ternyata dalam aplikasinya sangat berbeda. Daerah  menerjemahkan otonomi dengan berbagai pemekaran yang berimplikasi pada munculnya elit lokal baru.

Hak-hak lokal memang diperhatikan pemerintah, akan tetapi pemerintah kebablasan dalam mewadahi setiap pemekaran daerah. Daerah yang baru terbentuk, baik itu provinsi maupun kabupaten, merupakan daerah etnik dan semakin mempertajam sekat-sekat yang terdapat di suatu daerah. Apabila hal ini terus dibiarkan, kelanjutan Indonesia akan menjadi sebuah tanda tanya. Pertanyaannya kemudian, semangat nasionalisme apa yang mampu kembali menyatukan Nusantara? Seperti yang terjadi pada tahun 1908 sampai tahun 1945.

Wallahul Muaffieq Ilaa Aqwamith Tharieq…